Sejarah dari kesenian Reog ini
bermula pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan Majapahit pada abad
ke-15 dimana pada masa itu kerajaan Majapahit dibawah kekuasaan Bhre
Kertabhumi yang merupakan raja terakhir kerajaan Majapahit. Ki Ageng Kutu murka
terhadap perilaku rajanya yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan
Majapahit tak lama lagi akan berakhir. Ia pun pergi meninggalkan kerajaan dan
mendirikan sebuah perguruan Seni Bela Diri dengan harapan dapat memunculkan
bibit-bibit yang dapat memegang kekuasaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukan
yang dimilinya tidak mampu menandingi pasukan Majapahit maka pesan Politis Ki
Ageng Kutu pun disampaikan melalui pertunjukan Reog. Pagelaran Reog
dimanfaatkan Ki Ageng Kutu untuk membangun perlawanan masyarakat terhadap
kerajaan.
Dalam pertunjukan kesenian Reog
ini ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang biasa disebut “Singo
Barong”, raja hutan yang menjadi simbol Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan
bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat
para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang
diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi
simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras
dengan kekuatan warok. topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng
Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singobarong yang mencapai lebih dari
50kg hanya dengan menggunakan giginya. Dan akhirnya Reog Ki Ageng Kutu
menyebabkan Kertabumi menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan
cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok.
Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun
begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena
sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya
memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat
Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini
adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi
Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari
Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari
pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok
(pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu
hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan
Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para
penari dalam keadaan ‘kerasukan’ saat mementaskan tariannya
Berikut karakter-karakter dalam Kesenian Reog Ponorogo
Singo Barong
Topeng berbentuk kepala singa yang
dikenal sebagai “Singo Barong“, raja hutan, yang
menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak
hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan
Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya.
Jatilan
Jatilan, yang diperankan oleh kelompok
penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan
Kerajaan Majapahit, namun kini jathilan telah berevolusi yang mulanya diperankan oleh para lelaki (Gemblak) kini jathilan diperankan oleh wanita.
Bujangganong
Pujangganong atau Bujangganong adalah penari dan tarian yang
menggambarkan sosok patih muda ( Patihnya Klana Sewandana) yang cekatan,
cerdik, jenaka, dan sakti. Sosok ini digambarkan dengan topeng yang mirip
dengan wajah raksasa, hidung panjang, mata melotot, mulut terbuka dengan gigi yang
besar tanpa taring, wajah merah darah dan rambut yang lebat warna hitam menutup
pelipis kiri dan kanan.
Klana
Sewandana
Klana Sewandana atau Klono : Penari dan tarian yang menggambarkan sosok
raja dari kerajaan Bantarangin ( kerajaan yang dipercaya berada di wilayah
Ponorogo zaman dahulu. Sosok ini digambarkan dengan topeng bermahkota, wajah
berwarna merah, mata besar melotot, dan kumis tipis. Selain itu ia membawa
Pecut Samandiman; berbentuk tongkat lurus dari rotan berhias jebug dari sayet warna merah diseling kuning
sebanyak 5 atau 7 jebug.
Warok
Warok Suromenggolo. Dalam pentas, sosok warok lebih terlihat sebagai pengawal/punggawa
raja Klana Sewandana (warok muda) atau sesepuh dan guru (warok tua). Dalam
pentas, sosok warok muda digambarkan tengah berlatih mengolah ilmu kanuragan,
digambarkan berbadan gempal dengan bulu dada, kumis dan jambang lebat serta
mata yang tajam. Sementara warok tua digambarkan sebagai pelatih atau pengawas
warok muda yang digambarkan berbadan kurus, berjanggut putih panjang, dan
berjalan dengan bantuan tongkat.
Gemblakan
Dahulu warok dikenal mempunyai
banyak gemblak, yaitu lelaki belasan tahun usia
12-15 tahun berparas tampan dan terawat yang dipelihara sebagai
kelangenan, yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara
gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reog.
Bagi seorang warok hal tersebut adalah hal yang wajar dan diterima masyarakat.
Konon sesama warok pernah beradu kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak
idaman dan selain itu kadang terjadi pinjam meminjam gemblak. Biaya yang
dikeluarkan warok untuk seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah
maka warok yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping
memberinya makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah
maka setiap tahun warok memberikannya seekor sapi. Dalam tradisi yang dibawa
oleh Ki Ageng Suryongalam, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok rela
tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Hal itu konon merupakan sebuah
keharusan yang berasal dari perintah sang guru untuk memperoleh kesaktian.
Kewajiban setiap warok untuk
memelihara gemblak dipercaya agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Selain itu
ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan biarpun
dengan istri sendiri, bisa melunturkan seluruh kesaktian warok. Saling
mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan
khusus antara gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan di kalangan warok,
diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak boleh mengumbar
hawa nafsu kepada perempuan.
Saat ini memang sudah terjadi
pergeseran dalam hubungannya dengan gemblakan. Di masa sekarang gemblak sulit
ditemui. Tradisi memelihara gemblak, kini semakin luntur. Gemblak yang dahulu
biasa berperan sebagai penari jatilan (kuda lumping), kini perannya digantikan
oleh remaja putri. Padahal dahulu
kesenian ini ditampilkan tanpa seorang wanita pun.
terimakasih atas informasinya
ReplyDeletedi tunggu postingan selanjutnya