Wednesday, 10 April 2013

Tagged under:

Sejarah Reog Ponorogo


Sejarah dari kesenian Reog ini bermula pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan Majapahit pada abad ke-15 dimana pada masa itu kerajaan Majapahit dibawah kekuasaan  Bhre Kertabhumi yang merupakan raja terakhir kerajaan Majapahit. Ki Ageng Kutu murka terhadap perilaku rajanya yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit tak lama lagi akan berakhir. Ia pun pergi meninggalkan kerajaan dan mendirikan sebuah perguruan Seni Bela Diri dengan harapan dapat memunculkan bibit-bibit yang dapat memegang kekuasaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukan yang dimilinya tidak mampu menandingi pasukan Majapahit maka pesan Politis Ki Ageng Kutu pun disampaikan melalui pertunjukan Reog. Pagelaran Reog dimanfaatkan Ki Ageng Kutu untuk membangun perlawanan masyarakat terhadap kerajaan.


Dalam pertunjukan kesenian Reog ini ditampilkan topeng berbentuk  kepala singa yang biasa disebut “Singo Barong”, raja hutan yang menjadi simbol Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok. topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singobarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya. Dan akhirnya Reog Ki Ageng Kutu menyebabkan Kertabumi menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan ‘kerasukan’ saat mementaskan tariannya

Berikut karakter-karakter dalam Kesenian Reog Ponorogo
Singo Barong

Topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai “Singo Barong“, raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya.

Jatilan

Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit, namun kini jathilan telah berevolusi yang mulanya diperankan oleh para lelaki (Gemblak) kini jathilan diperankan oleh wanita.

Bujangganong

Pujangganong atau Bujangganong adalah penari dan tarian yang menggambarkan sosok patih muda ( Patihnya Klana Sewandana) yang cekatan, cerdik, jenaka, dan sakti. Sosok ini digambarkan dengan topeng yang mirip dengan wajah raksasa, hidung panjang, mata melotot, mulut terbuka dengan gigi yang besar tanpa taring, wajah merah darah dan rambut yang lebat warna hitam menutup pelipis kiri dan kanan.

Klana Sewandana 

Klana Sewandana atau Klono : Penari dan tarian yang menggambarkan sosok raja dari kerajaan Bantarangin ( kerajaan yang dipercaya berada di wilayah Ponorogo zaman dahulu. Sosok ini digambarkan dengan topeng bermahkota, wajah berwarna merah, mata besar melotot, dan kumis tipis. Selain itu ia membawa Pecut Samandiman; berbentuk tongkat lurus dari rotan berhias jebug dari sayet warna merah diseling kuning sebanyak 5 atau 7 jebug.

Warok


Warok Suromenggolo. Dalam pentas, sosok warok lebih terlihat sebagai pengawal/punggawa raja Klana Sewandana (warok muda) atau sesepuh dan guru (warok tua). Dalam pentas, sosok warok muda digambarkan tengah berlatih mengolah ilmu kanuragan, digambarkan berbadan gempal dengan bulu dada, kumis dan jambang lebat serta mata yang tajam. Sementara warok tua digambarkan sebagai pelatih atau pengawas warok muda yang digambarkan berbadan kurus, berjanggut putih panjang, dan berjalan dengan bantuan tongkat.

Gemblakan


Dahulu warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yaitu lelaki belasan tahun usia 12-15 tahun berparas tampan dan terawat yang dipelihara sebagai kelangenan, yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reog. Bagi seorang warok hal tersebut adalah hal yang wajar dan diterima masyarakat. Konon sesama warok pernah beradu kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak idaman dan selain itu kadang terjadi pinjam meminjam gemblak. Biaya yang dikeluarkan warok untuk seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka warok yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping memberinya makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah maka setiap tahun warok memberikannya seekor sapi. Dalam tradisi yang dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Hal itu konon merupakan sebuah keharusan yang berasal dari perintah sang guru untuk memperoleh kesaktian. 



Kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak dipercaya agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Selain itu ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan biarpun dengan istri sendiri, bisa melunturkan seluruh kesaktian warok. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan khusus antara gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan di kalangan warok, diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak boleh mengumbar hawa nafsu kepada perempuan.

Saat ini memang sudah terjadi pergeseran dalam hubungannya dengan gemblakan. Di masa sekarang gemblak sulit ditemui. Tradisi memelihara gemblak, kini semakin luntur. Gemblak yang dahulu biasa berperan sebagai penari jatilan (kuda lumping), kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dahulu kesenian ini ditampilkan tanpa seorang wanita pun.

1 comments:

Budayakan Berkomentar,,,, karena dengan berkomentar kita aka saling mengenal dan mungkin mampu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum terpecahkan dalam pemikiran kita....
Untuk kalian yang belum mempunyai akun GOOGLE / WORDPRESS / OPEN ID atau yang lainnya tapi ingin berkomentar pada postingan ini silahkan pilih "NAME/URL" pada kolom "Beri Komentar Sebagai", untuk URL kalian bisa memasukkan url / alamat facebook/twitter,,, contoh : http://www.facebook.com/nama_facebok
Terimakasih...... Admin