Hingga saat ini, belum ditemukan data secara akurat (bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah) mengenai sejarah kelahiran Reyog Ponorogo.
Berdasar penelitian yang dilakukan Rido (1997), ditemukan beberapa versi yang
memberikan pandangan tentang asal-usul kesenian ini.
Versi pertama, lahir dari imaginasi seorang seniman hasil
pembacaan (perenungan) terhadap realitas kehidupan semesta. Dalam perspektif
ini, Reyog lahir dari lukisan ide seorang seniman budaya yang meletakkan rasa bangga
(takjub) nya terhadap harmoni kehidupan belantara. Kepala harimau dan burung
merak yang menjadi perangkat utama dalam kesenian ini merupakan dua jenis
binatang yang memiliki keistimewaan, baik dari aspek estetis maupun magisnya.
Harimau sang binatang buas berkarakter liar dan ganas mendapat kehormatan
sebagai sang raja hutan. Sementara burung merak merupakan binatang dengan
karakter yang penuh pesona; cantik dan indah. Paduan kedua binatang berkarakter
kontras tersebut, melahirkan paduan indah - sebuah karakter unik dalam sebuah
kepribadian manusia, yakni kekuatan dan keindahan. Paduan inilah yang
diharapkan lahir dari pribadi orang Ponorogo; berani, berwibawa, mampu
memimpin, dan tetap dalam sikap yang santun dan menarik. Dengan demikian, versi
sejarah Reyog ini, lebih cenderung menyampaikan pesan jatidiri dan identitas
masyarakat Ponorogo sebagaimana diterangkan melalui simbolisasi kesenian Reyog
ponorogo.
Versi kedua, lahir sebagai bias dari kepercayaan atau keyakinan
masyarakat disaat animisme dan dinamisme tumbuh subur. Dalam kepercayaan
masyarakat seperti ini, roh hewan yang telah mati sekalipun, bisa didatangkan
kembali ke dunia seperti halnya keyakinan mereka tentang bisa kembalinya roh
manusia yang telah meninggal. Sementara diyakini oleh mereka bahwa roh binatang
yang paling kuat adalah roh harimau. Karena itu, dengan tujuan agar melindungi
keselamatan mereka, roh itu diundang melalui upacara (ritual) adat; ritual
pemanggilan roh. Pada perkembangan berikutnya, upacara adat itu memakai topeng
kepala harimau dan kemudian dikemas melalui tari-tarian. Inilah dasar pijak
versi kedua, sebagaimana tulis Hartono (1980), bahwa kesenian Reyog Ponorogo
merupakan perkembangan lebih masak dari tradisi upacara adat tersebut.
Versi ketiga, lahir sebagai tanda jaman. Saat Ponorogo
dilanda huru-hara (kekacauan, tidak aman) disebabkan terjadinya perseteruan
antar kelompok masyarakat penganut msitik; kanuragan, ngelmu
kasekten (ilmu kesaktian), sehingga mengarah pada pertikaian dan
bahkan pembunuhan. Situasi tidak aman ini, selanjutnya melahirkan
sebutan-sebutan atau istilah-istilah sebagai tanda jaman, dimana salah satunya
istilah itu adalah reyog (berati riyeg, horeg,
gonjang-ganjing). Seni Reyog yang lahir sesaat atau bersamaan dengan
situasi tersebut mengambil ilustrasi semacambarongan (serumpun
pohon bambu yang meliuk-liuk diterpa angin), hingga seolah-olah menggambarkan
situasi kekacauan yang tengah terjadi dan melanda masyarakat saat itu.
Versi keempat, lahir sebagai lambang kemenangan
Batharakathong atas Ki Ageng Kutu (Ki Demang Suryongalam). Dua binatang yang
dipakai perangkat utama kesenian ini, dimaksudkan sebagai sebuah simbol dari
dua karakter dua tokoh yang disebutkan. Harimau melambangkan perwatakan Ki
Demang; penyerang, pemberontak, sedangkan burung merak melambangkan perwatakan
Batharakathong; pembawa kedamaian, kesejukan, dan keindahan. Diduga pada saat
itu juga tengah berlangsung proses islamisasi di Ponorogo yang dimobilisasi
oleh Batharakathong, dengan satu bukti bahwa semenjak itu di atas kepala
harimau (persis di paruh burung merak) ditambahkan kalung manik-manik
semisal tasbih (alat menghitung bacaan dzikir)
Versi kelima, bertumpu pada mitos atau legenda. Legenda
tentang lahirnya Reyog Ponorogo lebih dari satu jumlahnya, dimana kalau ditarik
garis besar, semuanya mengandung falsafah atau tuntunan hidup yang diharapkan
dapat menumbuhkan jiwa patriotik, sikap dan watak terpuji, dan sejumlah
perilaku luhur yang lain.
Terlepas dari ragam sejarah Reyog Ponorogo, sebagaimana
dipaparkan di atas, akan sangat arif manakala kita mau merenung sejenak untuk
bersama-sama mengkritisi sejarah Reyog yang selama ini dipedomani. Sebagai
falsafah atau tuntunan hidup bagi generasi bumi Reyog, sejarah yang berbau
legenda memang cukup sarat makna. Namun, sebagai pembelajaran hidup bagi calon
warok menuju pencerahan dan pencerdasan, akar sejarah Reyog Ponorogo yang
bersifat ilmiah, sudah barang tentu juga sangat ditunggu kehadirannya.
bagus sekali artikel yang di share
ReplyDeletememrik dan penuh wawasan terimakasih